29.9.12

Hujan

Perkenalkan, aku hujan.
Aku sering melihatmu terbelalak sendiri ketika kami datang. Atau kadang kamu sering tersenyum sembari sesekali merasakan  kehadiran kami.
Aroma tanah yang sudah basah karena kami menyeruak sebagai molekul-molekul bau yang kamu tangkap lewat indera penciumanmu.
 Tak lupa adanya saudaraku yang terkenal sebagai aliran udara yang membelai indera perabamu lewat rambut-rambut halus yang tergerak dan merasa bahwa kami mau datang. Membuatmu membuka jendela kamar dan memperhatikan panggung dansa yang tercipta karena pepohonan, rerumputan, kabel tiang listrik bergerak dengan ritme-ritme yang tak berurutan namun indah. Saudaraku, angin, memang raja nya dansa kurasa. Kadang, angin terlena bergerak seakan hilang kendali ketika berdansa salsa dengan sesamanya, tak sadar ketika musik berhenti sekelilingnya sudah rusak.
Kemudian kadang saudaraku yang lain datang saling bersahutan. Mereka tak pernah datang sendiri. Bersama-sama dengan suara lantang menggelegar dan kilauan cahaya mengakar cepat seakan mau menusuk bumi. Aku kadang melihatmu terpana olehnya. Ya, mereka seakan raksasa penjaga. Perkenalkan mereka adalah petir atau halilintar. Kadang mereka juga lupa diri ketika beraksi memperlihatkan kekuatan masing-masing sehingga terbentuk wujud energi lain pada benda yang mudah terbakar. Kebakaran jadinya.
Sudah waktunya aku? Belum, kuperkenalkan dulu saudaraku yang lain. Aku tak bisa hadir tanpa dia. Kurasa petirpun tak bisa juga. Ia besar, seperti kapas, kadang putih bersih tapi kadang bisa memantulkan cahaya senja bahkan meng-abu. Aku ada di dalamnya. Aku dibawa olehnya sampai bisa ke tempatmu. Seakan kantong besar yang bisa mengandung ber juta liter aku. Perkenalkan, namanya awan. Ya, hampir setiap hari ia datang mengambang di langit harimu maupun malamu. Kadang banyak jenisnya, dan manusia memberinamanya aneh-aneh tapi unik. Stratokumulus, Kumulonimbus, Stratus, apapun yang -us -us. Hihih. Aku dan Awan saudara dekat. Hampir seperti kakak-adik karena terbentuk dari partikel yang hampir sama. Air, leluhur kami. Entah bagaimana, aku tidak begitu mengerti dengan proses yang manusia sebut kondensasi, sehingga kami bisa berbeda wujud.
Aku, Hujan. Partikel-partikel air yang jatuh dari langit. Kau sering menyebutku kristal bening. Nama yang indah! Aku ada dari sebuah siklus. Terlihat sederhana, ternyata tidak segitunya. Yang pasti aku datang dan sejukpun datang. Kadang aku membuat genangan kecil untuk sekedar melepas dahaga untuk para binatang dan tumbuhan. Kadang aku juga membuat genangan besar. Tapi bukan karena tidak mau meresap ke dalam tanah, lebih tepatnya tidak bisa. karena tertutup oleh benda-benda yang kamu sebut sampah.
Tapi terimakasih banyak. Akhir september ini, kami semua mungkin akan banyak berkunjung. :')

3.9.12

Candu

Terlalu mudahkah untuk ditaklukan?
Menjadi satu dengan aliran darah yang masuk ke otak
laksana nutrisi yang menghidupi.
Seakan candu yang kian merengkuh.

Ku katakan sekali ini saja.
Meskipun Tuhan memberiku kemampuan.
Melihat huruf demi huruf yang terangkai.
Seakan melihat keluar saat matahari bersinar dengan cerahnya
setiap gesture dengan mudah ku baca.
Karena mereka bukan orang yang istimewa buatku.
Mereka biasa saja untukku.

Tapi semuanya berubah ketika,
aku yang merasa tertarik.
Seakan jendela itu buram.
Gerhana matahari terjadi, kusam, gelap, tak terlihat.
Ingin kubaca kata perkata yang ada di dalam sana.
Tapi tak bisa.
Makanya aku takut sendiri kalau ku bilang "Aku tertarik padamu".
Sebelum kau bilang hal yang sama terlebih dahulu.
Belum siap rasanya memecahkan gelas anggur yang masih dalam perbaikan.

Ya, pengecut kan?
Itu memang aku.
Jadi, mudah-mudahan kau mengerti sebelum gelas itu pecah lagi.
Lebih baik pergi tanpa meninggalkan bekas apapun
atau tetaplah di sini dengan rasa yang sama.
Aku tidak butuh daerah abu-abu.
Aku hanya ingin hitam atau putih.
Warna vivid yang terang dan jelas.

Kurasa, aku tahu sedikit yang ada di benakmu.
Kau masih berharap masa lalu datang.
Berharap masa lalu itu masih ada di sini bersama mu.
Aku juga tidak bisa menekan hal itu.
Manusiawi.
Di dalam sini juga kadang terasa hal yang sama.
Kadang aku ingin mengubur masa lalu dalam-dalam.
Kadang aku sendiri yang ingin ia bangkit lagi menemaniku.
Karena aku terlalu takut untuk berjudi dengan takdir.

Aku sudah cukup senang sebenarnya.
Kita bisa bertemu walau hanya dalam satu nama.
Kita bisa bercengkerama meski hanya dalam hitungan minggu.

Kuakui, aku kecanduan.
Kecanduan melihatmu dekat, senyumu, tinggimu, rambutmu, urat-urat tanganmu, warnamu, cara jalanmu.
Kecanduan mendengar suaramu, tertawamu, nyanyianmu, tangisanmu, godaanmu, ceplas-ceplosmu.
Kecanduan akan gesturmu, kepolosanmu, jalan fikiranmu.

Apa yang sedang dilakukan di sana?
Bisakah kau tau aku sedang menceritakanmu di dalam sini?

Kini rasanya seperti sakau.
Karena canduku tak lagi kulihat, kurasa, kuhirup, kudengar.
Seakan kini semua inderaku mencari yang hilang.
Kamu.

- Cerpen "Sprout"- Jakarta,  Senin 3|9|12 , 9:46 -